Saturday, October 13, 2012

Selalu Ada Cinta Untukmu




Memandang wajah imutmu yang terlelap saat malam tiba. Hati mama menjadi ngilu dengan tusukan rasa bersalah.
Berapa kali mama marah padamu hari ini?
Berapa kali mama berteriak padamu hari ini?
Berapa kali mama memberengut jengkel padamu hari ini?
Berapa kali mama tepuk pantatmu hari ini?
Maafkan mama, Sayang…. Seringkali mama hilang kesabaran karena terlalu lelah. Mama harus berbagi tenaga dengan adikmu dalam kandungan.
Yang termanis adalah, sesudah mama marah padamu, kamu selalu minta duduk di pangkuan mama. Seakan ingin memastikan apakah mama masih sayang padamu. Terkadang dengan penuh kelembutan, engkau mengelus perut mama yang berisi adikmu.
Jangan kuatir, Sayang. Mama tetap cinta kamu. Tak ada maksud mama membencimu. Tak ada maksud pilih kasih. Kamu tahu, kamu tetap istimewa bagi mama. Sekalipun saat ini harus berbagi perhatian dan kasih dengan adikmu di dalam kandungan.
Dan, mama pun tak akan pernah mau mengakhiri hari dengan kemarahan padamu. Selalu mama ingat untuk memeluk, mencium, dan berbisik padamu, “maafkan mama…. I love you….”
Catatan ini mama buat, supaya kamu selalu mengingat…. Apa pun yang terjadi, mama tetap cinta kamu. Mama akan selalu ada bila kamu ingin kembali ke dalam pelukan mama setiap saat kamu berbuat kesalahan. Dan mama tak akan mengakhiri satu hari pun dengan memendam kemarahan padamu.

To my beloved son, Ethaniel....

Wednesday, September 19, 2012

A Real Chef is A Real Hero





Ini bukan buku tentang memasak. Buku ini berisi 15 kumpulan kisah terpilih yang menjadi pemenang dalam “Lomba Cerita Inspiratif” yang diadakan Penerbit DIVA Press.
Cerpen saya, “Last Tulips for Ayumi” ada dalam buku antologi ini. Sebuah fiksi berlatar belakang fakta historis pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Mencuplik kisah para wanita Indonesia yang pernah menjadi jugun ianfu, budak seks tentara Jepang. Ketertarikan saya mengisahkan fakta sejarah ini karena sangat sedikit orang yang perduli dengan keberadaan mereka. Ada pelajaran berharga dari ketegaran para wanita tersebut.
Beberapa komentar  tentang buku ini:
“Cerpen-cerpen yang ada dalam buku ini begitu menyentak alam bawah sadar saya, meninggalkan bekas yang selalu terkenang. Ya, cerita yang baik memang membekas dan kita sanggup menceritakannya ulang. Cerpen-cerpen pilihan yang disajikan memang memberikan banyak pelajaran hidup bagaimana kita tetap teguh memegang prinsip walau cobaan menerpa.” (Wiwid Prasetyo, penulis buku best seller “Orang Miskin Dilarang Sekolah”)
“Semua cerpen memikat di sini mengajarkan kita untuk selalu tabah dan semangat dalam menjalankan kehidupan.” (Mieny Angel, penulis dan blogger)
“…Sesekali kita dibuat seperti teriris dengan kekalutan cerita dalam buku ini, namun ada kalanya kita seperti dilecut dengan semangat yang coba dikumandangkan.” (Panca Javandalasta, penulis “Di Antara Lumpur, Mainanku Hilang”)
Good story! Jika kita percaya terhadap mimpi dan terus berusaha terhadap diri sendiri—tidak peduli orang lain mau berkata aneh atau apa pun juga—pasti kita akan berhasil. Yakin diri sendiri dan terus berusaha…. Keep spirit and achieve dream!!!(Ardhani Star, penulis buku “Secuil Roti Manis” dan peserta Just Write 2012)
“Kumcer pilihan yang sangat menarik. Salah satunya, ada kisah yang menyentuh dan mampu menegur kembali anak bangsa yang kerap terlambat mencintai ibunya. Ayumi, jika sempat kujumpai sosok ini, sudah pasti kucium kakinya.”(Reza Nufa,penulis novel “Iqra’” dan peserta Just Write 2012)
Judul buku: “A Real Chef is A Real Hard Worker” (Kumpulan Kisah Terpilih Lomba Cerita Inspiratif DIVA Press 2012)
Penerbit    : Diva Press
Halaman   : 248 halaman
Harga         : Rp 28.000,-
Bisa segera dibeli di semua Toko Buku Gramedia dan Toga Mas terdekat.

Thursday, May 10, 2012

My Mama Is ....



Mama adalah jasa kateringku. Setiap hari berusaha menyediakan tiga menu masakan untukku agar aku tidak bosan. Mama juga menyediakan berbagai jus yang berbeda setiap hari.
Mama adalah jasa laundriku. Setiap hari memastikan aku memakai baju yang bersih dan telah disetrika rapi.
Mama adalah bodyguardku, menjagaku aman setiap aku keluar rumah. Bukan saja aman dari kendaraan yang lalu lalang melintas di dekat rumah tapi juga dari anak yang nakal padaku. Aku selalu bersembunyi di balik Mama bila ada anak itu.
Mama menjadi penyiar radio menjelang tidur. Setiap malam mendongeng dari buku cerita dan bernyanyi untukku.
But actually, my Mama is my boss….
Mama punya banyak aturan. Mama sering mengomel bila aku tidak mematuhinya.
Mama sering melotot kalau aku tidak mau makan atau minum jus. Mama akan mengomel betapa aku tak menghargai repotnya memasak dan membuat jus untukku. Loh, aku kan tidak minta? Bagiku, minum susu terus saja sudah asyik…. Tapi kata Mama tidak baik kalau aku hanya minum susu terus.
Mama akan mengomel kalau aku tiba-tiba pipis di celana. Padahal, aku kan tidak sengaja. Kadang aku terlalu asyik bermain sehingga malas ngomong. Sudah terlanjur basah deh….
Mama melarangku main di luar rumah saat siang hari, katanya cuaca begitu panas dan kulitku yang sensitif akan mudah iritasi. Tapi saat cuaca mendung pun aku juga dilarang keluar, katanya nanti aku kehujanan dan banyak angin yang bisa membuatku masuk angin. Bingung, kan?
Mama sering manyun dan memberengut kalau aku belum juga mau tidur di malam hari. Aku sering terus menerus memberi buku pada Mama untuk didongengkan. Lama-lama dongeng Mama akan banyak diselingi uapan-uapannya. Ah, lucu sekali….
Tapi aku tahu, Mama sungguh menyayangiku…..
Terkadang, di sela lelap tidurku, aku sedikit terjaga, melihat tetesan air matanya saat berdoa. Memohon hikmat, kekuatan, dan kesabaran dari Tuhan dalam merawatku serta mendoakan yang terbaik bagiku.



(Selamat ulang tahun ke-2 putraku tersayang....)

Monday, April 23, 2012

Banyak Nama Untuk Satu Cinta


"Aku menyukai hitam dan putih. Hitam dan putih tuts-tuts piano kafe yang sekarang kumainkan. Hitam putih rangkaian not balok dalam partitur yang menjadi santapanku sehari-hari di Fakultas Seni Musik. Hitam dan putih adalah warna yang mendominasi isi lemari pakaianku. Hitam dan putih juga warna mata yang kutahu telah mengintaiku sepekan belakangan ini." (Nada dan Warna)

"Nada dan Warna " adalah salah satu cerpen saya yang lolos dalam even #cecintaan yang diadakan Kampung Fiksi. Dibukukan bersama cerpen Tim Kampung Fiksi dan 28 penulis lain yang lolos seleksi menjadi sebuah buku berjudul "Banyak Nama Untuk Satu Cinta".

"Nada dan Warna" menceritakan sebuah unconditional love, sepasang manusia yang dipertemukan Tuhan secara unik untuk saling menerima bahkan melengkapi kekurangan satu sama lain. Selain itu, masih banyak kisah cinta yang akan menggelitik dan menggetarkan hati di buku ini.

Cinta memang menjadi tema utama dalam buku ini. Buku ini menyajikan kisah cinta dari berbagai sisi kehidupan.

"Banyak Nama Untuk Satu Cinta membawa Anda ke dalam kisah-kisah cinta orang-orang biasa dari sudut yang tidak biasa, sebab cinta memang luar biasa. It’s love, it’s love that makes the world go round!" (Leutika Prio-Penerbit)


"Banyak Nama Untuk Satu Cinta" (Kumpulan Cerpen)
Penerbit  : Kampung Fiksi - Leutika Prio
ISBN       : 978-602-225-372-3
Halaman  : 199, BW : 199, Warna : 0
Harga      : Rp. 42.100,-
Dapat dibeli secara online di link Leutika Prio ini. Bisa juga memesan lewat saya.

Monday, April 9, 2012

The Greatest Love of All 1



Aku melirik sekilas kertas yang dipegangnya. Sebuah diagnosa yang rupanya menjadi vonis mematikan baginya. Hatinya sudah mati jauh sebelum raganya mati. Hanya orang yang sudah tak mau lagi berjuang hidup yang tetap merokok walau sudah divonis menderita kanker serviks . (“The Light To Life”)

“The Light To Life” adalah salah satu cerpen saya dalam buku antologi “The Greatest Love of All Part 1”. Buku antologi ini diterbitkan oleh Kampung Fiksi dalam even Tribute2Whitney, sebuah even yang diadakan untuk mengenang diva legendaris Whitney Houston. 

Seluruh cerpen dalam buku “The Greatest Love of All” ini terinspirasi dari lagu-lagu Whitney Houston. Saya memilih satu lagu, “I Didn’t Know My Own Strength” sebagai inspirasi dari cerpen yang saya tulis. Lagu ini saya dengar pertama kali saat wawancara eksklusif Whitney Houston di Oprah Winfrey Show. Wawancara tersebut begitu berkesan dan emosional. Whitney Houston menceritakan jatuh bangunnya melawan ketergantungan narkoba. Dia yang mengawali karirnya sebagai penyanyi gereja mulai merasakan ketidakstabilan emosi dan ketergantungan narkoba ketika dia mulai populer sebagai penyanyi pop komersil. 

Menurut saya, lagu “I Didn’t Know My Own Strength” adalah lukisan jiwa Whitney Houston sendiri. Bagaimana pun, walau berakhir dengan kematian tragis, dia sebenarnya telah berusaha bangkit berkali-kali. Pesan ini yang saya coba bagikan dalam cerpen “The Light To Life”, setiap wanita sebenarnya punya kesempatan dan harapan untuk bangkit dari keterpurukannya. Ini pula yang dapat kita pelajari dari kehidupan dan kematian Whitney Houston.

Ada banyak lagi cerpen yang menyentuh hati dalam buku ini. Bila Anda salah satu orang yang pernah tersentuh dengan lagu Whitney Houston, maka seharusnya Anda tidak melewatkan membaca buku ini. Buku ini juga akan menjadi hadiah kejutan yang mengharukan bagi orang-orang di sekitar Anda yang menjadi penggemar lagu-lagu Whitney Houston. Buku ini dapat dibeli secara online di www.nulis buku.com. Silahkan klik link berikut ini, The Greatest Love of All 1


Keseluruhan royalti penjualan buku ini akan disumbangkan untuk Taman Bacaan Mahanani. Tentang Taman Bacaan Mahanani dapat Anda baca profilnya di sini,  Perpustakaan Keliling Gratis Itu Menggunakan Becak


Daftar penulis “The Greatest Love of All 1” dapat dilihat di Kampung Fiksi: Daftar Penulis Buku Satu




Saturday, February 25, 2012

Warisan Natal


Aku tak mau membuka mataku. Aku hanya ingin menikmati berbagai aroma khas yang menyapa hidungku. Aroma kayu jati tua dipan yang kutiduri. Aroma harum bunga yang melekat pada sprei, sarung bantal, dan selimut. Walaupun mungkin sabun cuci yang dipakai telah berganti-ganti tapi bagiku aromanya tetap sama sejak dulu. Ada juga aroma debu terselip di kisi-kisi jendela dan berbagai sudut ruangan yang tak terjangkau ganggang sapu. Semua aroma itu melebur menjadi satu membawaku secara mistis pada kenangan masa kecil hingga remaja yang kuhabiskan di kamar ini.
Bila aku membuka mataku aku tahu bahwa ruangan ini sebenarnya masih tetap sama seperti saat kutinggalkan selepas aku SMA dulu. Bahkan kain gordennya pun adalah kain pilihanku. Kain yang kubeli bersama ibu di Pasar Klewer. Tak ada perabot yang diganti bahkan digeser satu sentimeter pun dari tempatnya dulu. Hanya meja belajarku yang sekarang tampak kosong karena semua buku telah disimpan di gudang atau bahkan telah dijual Bapak di toko buku loakan belakang Taman Sriwedari. Juga tak lagi kudapati poster-poster artis dan boyband pujaanku semasa remajaku dulu. Kalau semua itu aku yang melepasnya sendiri saat kuliah. Betapa gelinya aku dulu memikirkan kegilaanku ada aris-artis tersebut.
Hidupku yang telah banyak berubah. Itulah yang membuatku malas membuka mata. Memanjakan anganku kembali pada masa kecil dan remaja saat kehidupan serasa tak disesakkan dengan berbagai kenyataan yang hampir tak mampu aku tanggung. Dan lagi bila kubuka mataku, aku tak mendapati lagi ibu di rumah ini. Padahal ibu yang kurasa paling kubutuhkan untuk berbagi kesesakan saat ini.
Suara pintu kamar yang dibuka dan kecupan kecil yang mendarat di kening memaksaku untuk membuka mata.
“Mama masih capek ya?” tanya sang Pangeran Kecil. Dengan nada suara yang terdengar bijak dan penuh perhatian ini pasti orang tak menyangka kalau umurnya baru empat tahun.
“Hmm, sedikit,” jawabku mencoba tersenyum. Belakangan ini aku sering berpura-pura tersenyum bahagia di depannya. Senyuman yang menyiksa hati nuraniku.
“Fide mau diajak Om Soni ke toko buat beli hiasan Natal. Boleh ya, Ma?”
 “Sudah minum susu?”
“Tinggal sedikit”
“Habiskan susunya dulu, baru boleh pergi sama Om Soni.”
“Oke, deh. Terima kasih, Mama. Muah!
Sebuah kecupan kembali mendarat di pipiku. Secepat kilat dia turun dari tempat tidur dan berlalu ke balik pintu. Aku berusaha kembali ke dunia angan yang sempat kutinggalkan. Tapi aku tak mampu lagi. Saat aku memejamkan mata bukan kenangan masa kecilku yang muncul tapi kembali keping-keping kisah pahit. Segera aku bangkit, keluar dari kamar dan membersihkan diri di kamar mandi. Berharap kesegaran tubuhku dapat sedikit menyegarkan pikiranku.
Kudapati bapak tengah membuka koran pagi saat aku menuju meja makan. Dua tahun yang lalu saat ibu masih hidup, suasana pagi di rumah tak sehening ini. Keheningan pagi ini masih terasa asing bagiku.
“Tadi Fide diajak Soni membeli hiasan natal.”
“Iya, tadi dia sudah pamit denganku.”
 “Yonan tidak pulang ke Solo Natal kali ini? Atau menyusul nanti?” Pertanyaan ini akhirnya meluncur juga dari mulut bapak. Aku tahu bapak telah menyimpan pertanyaan ini sejak menjemputku di bandara tadi malam. Tapi disimpannya karena mungin melihat wajahku yang begitu lelah dan murung semalam.
“Tidak.” Aku menjawab singkat dan berlalu menuju dapur untuk membuat secangkir teh buat diriku. Aku berharap bapak tak bertanya lagi tentang Yonan. Yonan pernah dua kali tidak bisa menemani kepulanganku ke Solo saat Natal karena bekerja. Jadi, kuharap ketidakhadirannya tahun ini tidak akan terlihat janggal.
Saat aku kembali ke meja makan dengan secangkir teh di tangan, aku tahu pembicaraan menyesakkan ini akan berlanjut. Aku melihat koran bapak sudah terlipat rapi, tangan bapak bersedekap di meja makan dengan pandangan mata menerawang menembus jendela ke pekarangan belakang rumah. Aku hafal, ini gaya bapak bila bersiap untuk membicarakan sesuatu yang penting. Aku sendiri tidak yakin akan siap untuk menceritakannya.
“Ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Yonan?” Bapak menatapku dengan tatapan yang lembut, tapi terasa menusuk. Memaksaku menundukkan kepala menghindari tatapan matanya yang seakan berusaha memindai isi hatiku.
“Bapak tahu, Bapak bukan ibumu. Bapak tidak akan pernah bisa menggantikan ibumu. Tapi Bapak ingin kamu tahu bahwa Bapak pun ada bila kamu ingin berbagi.” Setiap patah kata-kata bapak seperti godam yang menghantam benteng pertahananku. Kebisuanku runtuh diawali dengan isakan-isakan tangis dari mulut mulutku.
Kisah pahit itu akhirnya bergulir dari mulutku dengan terpatah-patah. Dimulai dari pengakuan Yonan sebulan lalu. Pengakuan yang tak pernah bisa kupercaya keluar dari mulut suami yang kucintai dan kupercayai selama ini.
Isakanku berubah menjadi raungan tangis yang memenuhi setiap sudut ruang makan itu saat bapak menggenggam tanganku. Aku bersyukur tak ada siapa pun di rumah ini yang dapat mendengar raunganku saat ini.
Entah berapa lama aku larut dalam tangis. Saat raunganku mereda menjadi isakan lirih, bapak membuka percakapan kami kembali.
“Ratih, aku sedikit banyak tahu perasaanmu. Kesakitanmu karena pengkhinatan ini, aku pun pernah merasakannya.”
“Maksud Bapak?”
“Dunia seperti mau runtuh saat aku mendengar pengakuannya dari mulut ibumu.”
“Maksud Bapak, Ibu….?”
“Ya, ibumu pernah mengakui sebuah perselingkuhan.”
Aku terdiam tak percaya. Selama ini aku melihat sosok ibu sebagai wanita yang sempurna. Ibu adalah wanita yang bersahaja, pendiam, tak suka bergosip dan terlihat begitu rukun dengan bapak. Selama ini aku mengingat ibu sebagai wanita pemalu, selalu menjaga jarak dengan pria lain selain bapak
“Kamu pasti sulit mempercayainya, kan? Tak apa….”
“Tapi, Ibu terlihat begitu sempurna di mataku.”
“Ibumu memang mengakhiri hidupnya sebagai wanita sempurna bagi kita semua, walau dia pernah mengalami kejatuhan  dalam perjalanan hidupnya.”
“Bapak, sebenarnya apa yang dulu pernah terjadi?”
“Waktu itu baru saja masuk SD, dan dua adikmu masih balita. Tidak semuanya salah ibu. Bapak juga bersalah dalam hal ini.”
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Kamu ingat kan, dulu Bapak sering dikirim dinas keluar Jawa berminggu-minggu. Meninggalkan ibumu dalam kesepian dengan kerepotan mengurus tiga anak-anaknya.”
“Iya, aku ingat. Bapak hanya pulang beberapa hari dalam sebulan.”
“Ibumu sebenarnya juga bukan perempuan rumahan tradisional. Dia seorang sarjana, predikat yang sangat jarang dimiliki wanita di masa itu. Ibumu punya ambisi yang besar untuk berkarya di luar rumah. Tapi dia mengambil pilihan untuk mengurus kalian bertiga di rumah.”
Aku kembali mengenang ibu. Dia wanita yang cerdas di mataku. Dia selalu tahu kapan dan apa yang harus dikatakannya. Itulah mengapa aku selalu nyaman membicarakan segala sesuatu dengannya.
“Apakah ibu kesepian sehingga….” Aku menggantung kalimatku. Tak kuasa membayangkan apa yang pernah terjadi di masa lampau.
“Bisa dikatakan begitu. Saat Bapak tak berada di sisinya, dia menemukan pria lain yang menemaninya berdiskusi. Dia merasakan gairahnya kembali. Ditambah lagi banyaknya desas-desus yang mengatakan bahwa pegawai yang bertugas di luar Jawa pasti punya banyak simpanan di sana. Berita seperti itu menambah kegalauannya. Di saat itulah dia jatuh ke pelukan pria tersebut.”
“Kenapa aku sama sekali tak tahu saat itu. Siapa pria itu, Pak? Apakah Ratih mengenalnya?”
“Tak perlu kamu tahu. Itu masa lalu….”
“Bapak pasti sangat hancur.”
“Benar. Selama ini banyak orang yang mengira pria seperti Bapaklah yang suka berselingkuh karena sering berdinas di luar Jawa. Ternyata…. Ah, berat sekali saat itu. Sangat ingin rasanya menceraikan ibumu sesegera mungkin saat itu.”
“Lalu, bagaimana Bapak bisa menerima ibu kembali saat itu?”
“Bapak tidak bisa langsung memaafkan dan menerima ibumu. Bapak sempat lari ke Yogya, pulang ke rumah eyangmu untuk menyendiri. Saat itu Natal juga. Ketika Bapak mengikuti kebaktian Natal, Bapak mendengar kotbah tentang kasih. Hati Bapak tersentuh. Bapak punya tekad untuk berusaha mengasihi ibumu dengan memaafkannya dan memberinya kesempatan kembali.”
“Semudah itukah?”
“Butuh proses yang lama. Kadang perasaan sakit itu muncul lagi tapi Bapak dan ibumu terus berdoa. Sampai detik ini Bapak tidak pernah menyesal karena telah memaafkan dan menerima ibumu kembali.”
“Tak pernah menyesal?”
“Iya. Bila dulu Bapak mengakhiri pernikahan kami yang baru tujuh tahun, Bapak tidak akan menikmati 28 tahun lagi kebahagiaan pernikahan kami. Setelah kejadian itu, ibumu bertobat dan menjadi istri yang lebih baik. Badai itu juga makin mengokohkan pernikahan kami. Tahukah kamu bila pohon yang kuat adalah pohon yang tahan menahan terpaan angin kencang? Bila aku mencari istri baru lagi, belum tentu aku mendapat yang lebih baik.”
Aku cuma terdiam. Meresapi semua kata-kata Bapak mengalir ke pikiranku dan berakhir di hatiku.
“Dan yang terpenting, kami dapat memberikan suatu warisan berharga bagi kalian melalui kelangsungan pernikahan kami.”
“Warisan apa, Pak?”
“Kami dapat mewariskan nilai tentang kelanggengan cinta kasih pernikahan, mewariskan pelajaran berharga bagaimana menghadapi badai dalam pernikahan.”
“Bapak memintaku untuk bisa memaafkan dan menerima Yonan kembali?”
“Bapak tidak bisa mendikte hidupmu. Kamu sendiri yang harus bisa membuat keputusan. Bapak hanya bisa mewariskan kisah pernikahanku dengan ibumu padamu.”
“Berat, Pak.”
Menutup wajah dengan telapak tanganku. Aku berusaha mengusir wajah Yonan dari hadapanku. Wajah Yonan yang berurai air mata saat berusaha memohon maafku.
“Aku tahu beratnya, Ratih. Di masa dulu, suami yang berselingkuh dianggap hal yang wajar dan harus dimaklumi seorang istri. Sedangkan seorang istri yang berselingkuh, seakan penghinaan besar bagi martabat pria. Tapi aku berusaha tidak melihat itu. Aku melihat ibumu sebagai istri, dengan siapa aku mengikat janji pernikahan. Hanya maut yang boleh memisahkan kami. Maut, dan bukan kemarahan semata.”
“Apakah Yonan dapat sungguh-sungguh berubah menjadi setia nantinya?”
“Ratih, Bapak bukan peramal yang tahu masa depan. Tapi kalau boleh Bapak mengingatkan, bukankah Tuhan juga sering memberi kesempatan kedua pada umat-Nya yang sungguh-sungguh bertobat dan memulai hidup baru yang lebih baik. Jadi, mengapa kamu tidak mencoba memberi kesempatan pada Yonan?”
Aku hanya membisu. Pikiranku berusaha merangkai setiap keping kisah masa lalu orang tuaku dan juga kisah pahitku sendiri. Bapak pun membisu di sampingku. Berdua kami menyelami keheningan rumah itu, mengarungi setiap kenangan masa lalu kami masing-masing.
Deru suara sepeda motor yang memasuki halaman rumah membuyarkan keheningan kami. Beberapa detik kemudian sosok lincah Fide memasuki rumah itu. Dengan riang Fide bercerita pengalamannya berbelanja hiasan-hiasan Natal dengan Om Soni.
Beberapa menit kemudian aku telah menemani Fide menghias pohon Natal di ruang tamu. Sementara bapak sibuk mengurusi burung-burung peliharaannya dengan Soni di belakang rumah.
Pohon Natal dengan tinggi sekitar satu meter itu diletakkan di atas sebuah meja mungil agar terlihat lebih tinggi. Fide pun terpaksa harus naik bangku kecil agar dapat memasang hiasan pada pohon itu.
“Ma, di bawah pohon Natal ini ditaruh apa?”
“Biasanya sih tidak ditaruh apa-apa.”
“Kalau ditaruh kado-kadoan bisa, Ma? Kemarin pohon Natal di sekolah Fide dihias begitu. Kadonya dari kardus kosong yang dibungkus kertas kado. Fide bisa buat kok, Ma. Kan di sekolah sudah diajarin Bu Guru.”
Aku terdiam sesaat. Sebuah ide melintas di pikiranku. Aku kemudian berlalu ke ruang keluarga. Kuambil beberapa foto keluarga tua yang berjajar di atas meja pajangan. Segera kubawa tiga foto ke ruang tamu dan kupasang di bawah pohon Natal itu.
“Kalau kita pasang ini bagaimana, Fide?”
“Lho, itu kan foto keluarga Eyang. Kok nggak pasang kado-kado saja, Ma?”
“Keluarga, kan, kado terindah dari Tuhan buat kita.”
Fide mengernyit sesaat. Pasti cukup sulit bagi anak lima tahun untuk memahami kata-kataku. Tapi kemudian dia mengangguk-angguk. Entah mengerti atau pura-pura mengerti.
“Oke deh, Ma. Pasang foto saja. Keren juga. Nanti kutunjukkin teman-temanku kalau sudah masuk sekolah nanti.”
“Sip!”
Kami berdua pun tos bersama. Sekilas kulirik senyum ibu pada salah satu foto keluarga. Foto ketika aku diwisuda. Sekelam apa pun masa lalunya, ibu tetaplah wanita yang hebat di mataku. Dia telah menunjukkan pengabdiannya pada bapak dan keluarga ini walaupun pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu. Dia telah membayar kesalahannya dengan melukiskan kebahagiaan di hati kami semua anak-anaknya.
Perlahan aku merogoh ponsel di kantong celanaku. Kuketik sebuah sms singkat.
“Kapan kamu menyusul ke Solo untuk merayakan Natal?”
Semenit kemudian sebuah balasan kuterima.
“Beneran? Aku boleh ke sana?”
Lama aku tidak membalas sms itu. Mataku menatap lekat foto bapak dan ibu di bawah pohon Natal itu. Aku pun ingin mewariskan sebuah kisah pernikahan yang bahagia pada Fide. Aku juga ingin dapat menceritakan kasih sejati dalam pernikahanku pada Fide nantinya. Kasih yang mau mengampuni dan menerima di dalam kelemahan.
“Mari kita mencoba lagi….” Kubalas pesannya dengan singkat. Tiba-tiba Fide sudah aad di dekatku, ikut memelototi ponselku.
 “Papa ya?”
“Iya. Papa akan segera menyusul ke sini.”
“Papa nggak jadi sibuk kerja ya?”
“Iya. kamu tunggu saja ya.”
“Hore!!! Bisa Natalan sama Papa!”
Teriak girang Fide membahana ke seisi rumah. Meluruhkan segala kemuraman yang sempat singgah di rumah ini.

Dimuat Majalah "SEKAR" edisi 72, 14-28 Desember 2011

Thursday, January 12, 2012

Dear Mama #8


“Dear Mama #8” berisi puluhan surat cinta dari para kontributor penulis di seluruh Indonesia. Ungkapan cinta buat ibunda yang sangat menyentuh hati. Ada rasa kebanggaan, terima kasih, dan juga penyesalan.

“Dear Mama” adalah sebuah proyek buku keroyokan. Terdiri dari 10 seri buku yang keseluruhan royaltinya disumbangkan untuk Yayasan Kanker Payudara. 

Tulisan saya berjudul “Untuk Setiap Kayuhan Sepedamu” ada di buku seri ke-8. Mengungkapkan rasa terima kasih mendalam saya untuk kerja keras ibu yang membesarkan empat anaknya dalam keterbatasan. Secara khusus saya mengenang ibu yang setiap hari mengayuh sepeda dari satu desa ke desa lain untuk memandikan bayi yang belum lepas tali pusar. Berusaha mencari tambahan penghasilan sebagai single fighter di keluarga kami.

Buku ini dapat dipesan di nulis buku.com atau langsung klik di sini, <a href="http://www.nulisbuku.com/books/view/dear-mama-8">Dear Mama #8<a>

Judul buku: Dear Mama #8
Penerbit     : nulisbuku
Halaman    : 167 halaman
Harga         : Rp 40.000,