Thursday, January 12, 2012

Dear Mama #8


“Dear Mama #8” berisi puluhan surat cinta dari para kontributor penulis di seluruh Indonesia. Ungkapan cinta buat ibunda yang sangat menyentuh hati. Ada rasa kebanggaan, terima kasih, dan juga penyesalan.

“Dear Mama” adalah sebuah proyek buku keroyokan. Terdiri dari 10 seri buku yang keseluruhan royaltinya disumbangkan untuk Yayasan Kanker Payudara. 

Tulisan saya berjudul “Untuk Setiap Kayuhan Sepedamu” ada di buku seri ke-8. Mengungkapkan rasa terima kasih mendalam saya untuk kerja keras ibu yang membesarkan empat anaknya dalam keterbatasan. Secara khusus saya mengenang ibu yang setiap hari mengayuh sepeda dari satu desa ke desa lain untuk memandikan bayi yang belum lepas tali pusar. Berusaha mencari tambahan penghasilan sebagai single fighter di keluarga kami.

Buku ini dapat dipesan di nulis buku.com atau langsung klik di sini, <a href="http://www.nulisbuku.com/books/view/dear-mama-8">Dear Mama #8<a>

Judul buku: Dear Mama #8
Penerbit     : nulisbuku
Halaman    : 167 halaman
Harga         : Rp 40.000,

Wednesday, January 11, 2012

Pamit

Gelap.

Aku kembali terbawa ke malam gelap itu. Ketika aku terbangun karena telingaku menangkap suara isak tertahan. Aku masih menutup mata. Pura-pura tidur di balik selimut hangatku yang bergambar  tokoh kartun Donal Bebek. Entah kenapa aku merasakan suatu gelombang kesedihan yang mendera dan suatu keadaan tidak aman. Aku memilih tetap tidur, mencoba menutup mata terhadap keadaan sekitar.

Lagipula, aku tak perlu membuka mata untuk tahu isak siapa itu. Isak ibu. Suaranya sangat jelas kukenali. Ibu jarang menangis di depanku tapi hatiku selalu merana setiap mendengar isaknya. Kali ini isaknya lain, terdengar begitu pilu. Dia sepertinya berusaha keras meredam suara tangisnya, menyisakan isakan-isakan yang keluar dari sela bibir.

Ibu sama sekali tak menyentuhku, berarti memang dia berusaha tidak membangunkanku. Benar pilihanku untuk tetap pura-pura tidur. Begini mungkin lebih baik bagi ibu. Ibu tak pernah ingin aku melihatnya bersedih. Mungkin tidurku akan membuat kesedihan ibu lekas berlalu.

Aku mendengar suara pintu dibuka. Terdengar desah nafas bapak. Suasana makin terasa tidak enak. Ada kesedihan dan kesesakan yang pekat kurasakan dari desah nafas bapak.

“Sudah, cukup…,” terdengar suara bapak. Aku merasa itu bukan nada suara yang berusaha menenangkan ibu. Ada perintah mendesak dalam suara itu.

“Katakan padanya, bahwa aku akan selalu menyayanginya.” Ibu berusaha bicara di sela deru isak tangisnya. Aku merasa kata-kata itu ditujukan untukku. Hampir aku membuka mata dan tidak tahan untuk memeluk ibu.

“Kamu sudah memilih. Jalani pilihanmu tanpa ragu, kamu tahu konsekuensinya.” Aku takut mendengar suara bapak. Nada suara seperti ini yang sering membuatku menunduk dan tak mampu menatap matanya. Nada suara yang dikeluarkan saat aku berbuat kenakalan di luar batas. Kenakalan apa yang telah diperbuat ibu?

Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari ibu.  Aku hanya mendengar suara langkah kaki ibu yang pelan-pelan meninggalkan ruangan ini. Pintu ditutup. Selanjutnya aku mendengar deru mobil di luar rumah. Aku tidak tahu itu mobil siapa. Kami tidak punya mobil, hanya motor bebek tua bapak berwarna merah. Motor bebek yang setia mengantarnya mengajar di sebuah SMP swasta.

Belakangan aku tahu bahwa deru mobil itu adalah taksi yang mengantar kepergian ibu dari rumah. Belakangan aku juga sangat menyesal mengapa tetap pura-pura tertidur saat itu. Andai saja aku bangun dan memeluk ibu. Aku akan sunguh-sungguh berusaha merasakan hangat tubuhnya, wangi aroma sampo di rambut panjangnya, lembut pipinya yang menempel di wajahku. Bertahun-tahun kemudian, aku menjadi sangat merindukan semua itu.

Tak ada yang menceritakan padaku apa yang sesungguhnya terjadi malam itu. Pada bapak sajalah aku terus bertanya. Bapak juga terus menjawab bahwa ibu bekerja di luar negeri. Menjadi TKW kah? Bapak hanya berdehem. Sejak itu aku terus mengikuti berita TKW di luar negeri. Kalau-kalau aku mendapat berita tentang ibu. Ibu tak pernah mengirimiku surat. Padahal ibu tahu saat itu aku telah lancar membaca. Ibu sendiri yang mengajariku membaca.

Aku menjadi sering mengikuti berita tentang TKW di luar negeri. Kesedihanku sering memuncak melihat berita TKW yang disiksa dan dihukum di luar negeri. Bapak sering menghiburku. Katanya, bukan di negara itu ibu berada. Lalu, di mana? Bapak hanya mengangkat bahu.

Aku berhenti bertanya-tanya lagi tentang ibu saat aku mulai mendengar kasak-kusuk itu. Kasak-kusuk yang kudengar dari percakapan nenek, bulik Endah, om Basri, dan pakdhe Bowo setiap ada pertemuan keluarga. Mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik, mengira aku tak akan mendengar karena sedang asyik mengecat layangan. Mereka tidak tahu aku pandai berpura-pura. Aku berpura-pura tetap sibuk dengan layangan padahal aku memasang telinga dengan tajam.

Mereka berbisik menjelek-jelekkan ibu. Kata mereka, ibu wanita materialistis. Ibu meninggalkan bapak untuk menikah dengan pria bule yang kaya. Aku menangkap informasi penting dari bisik-bisik mereka. Mereka bilang ibu lari ke Amsterdam.

Aku ingin tahu tentang Amsterdam. Potongan-potongan koran, majalah, semua yang tentang Amsterdam kukumpulkan. Aku pelajari baik-baik. Suatu hari aku akan kesana untuk menemukan ibu. Aku kasihan pada ibu. Aku yakin, pasti ada yang melarang ibu untuk mengirim berita padaku. Aku tahu, ibu tak akan mengabaikanku. Biar aku saja yang akan berkorban mencari Ibu ke Amsterdam.

Bisikan-bisikan terus kudengar. Semuanya berisi cercaan. Dulu aku ikut membenci ibu seperti mereka. Lama-kelamaan, kerinduanku mengalahkan kebencianku. Aku menjadi kasihan pada ibu. Tak ada yang membelanya di sini. Aku ingin membela ibu karena aku ingat kata-kata ibu malam itu bahwa dia akan selalu menyayangiku. Aku tidak tahu cara membela ibu. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa berlari menjauh dari bisik-bisik itu.

Waktu aku masih SD, aku hanya lari ke lapangan bola di dekat rumah. Bermain sepuasnya sampai kegelapan senja merambat. Aku pulang ketika mendengar panggilan bapak. Saat SMP, aku berlari lebih jauh lagi, ke rumah teman-temanku yang lain. Aku senang berada di rumah teman-temanku. Tak ada yang membicarakan ibu di situ. Aku juga tak mendengar suara panggilan bapak di sana.

Ketika gerbang SMA menjelang, bapak membelikan sebuah sepeda motor bagiku. Katanya untuk membantuku karena jarak SMAku jauh. Aku tahu pasti, sepeda motor ini adalah bentuk penyesalan bapak. Bertepatan dengan kelulusan SMP baru aku tahu dari mulut bulik Endah bahwa bapaklah yang melarang ibu menghubungiku. Aku sudah cukup besar untuk menanyakan hal ini kepada bapak. Konsekuensi yang harus dijalani Ibu, begitu kata bapak. Menurutku larangan tersebut bukan sebuah konsekuensi, itu adalah hukuman bapak untuk ibu.

Aku sempat membenci bapak. Tidak pulang berhari-hari. Bapak menemukanku sedang melamun di terminal bus. Aku terharu saat melihat wajah sedih bapak yang memintaku pulang. Menatap wajah sedih bapak, aku tahu bahwa bapak pun telah bertahun-tahun memendam kepedihan tersendiri. Aku pulang bersama bapak. Ibaku padanya telah mengalahkan kebencianku.

Sepeda motor tersebut yang akhirnya menjadi kendaraan pelarianku setiap aku sesak dengan kerinduanku akan ibu. Adrenalin yang terpacu saat melaju kencang dengan sepeda motor di jalanan padat seakan sejenak melepaskan kesesakan dan kemarahanku yang terpendam. Geng motor? Oh tidak, aku lebih menyukai kesendirian. Melaju sendirian, menuju tempat-tempat yang sepi untuk sekedar merenung. Menatap langit, berusaha merasakan apa yang sedang dirasakan ibuku saat itu.

*****
Terang.

Cahaya terang menelusup masuk ke mataku. Melenyapkan bayangan-bayangan masa lalu yang terputar ulang di pikiranku. Sekarang aku melihat samar pada dinding putih bersih dan berbagai peralatan medis yang berada di samping tempat tidur. Sepertinya ini sebuah kamar rumah sakit.

Rekaman suatu kejadian kembali berputar cepat di kepalaku. Aku mengingat suatu siang saat arisan keluarga di tempat pakdhe Bowo. Sekali lagi aku mendengar mereka berbisik mencibir ibu. Kembali hatiku merasa sesak. Tanpa pamit, aku pergi menjauhi rumah Pakdhe Bowo. Melajukan motorku dengan kencang, berbelok tajam, sebuat truk besar, hantaman keras, dan kegelapan. Aku yakin sekarang, ini memang rumah sakit tempat aku terbaring koma berhari-hari setelah kecelakaan itu.

Cahaya itu semakin membias kuat, seakan memanggilku ke dalamnya. Tanpa takut aku menurut  masuk ke dalam cahaya. Aku merasa ada sesuatu yang begitu indah dan mulia menantiku di balik cahaya itu.
Langkahku terhenti oleh sebuah isak yang kudengar. Isak yang sangat kukenal walau telah sepuluh tahun tak lagi kudengar. Isak ibu.

Kulihat ibu menggenggam erat tanganku yang sedang terbaring di ranjang. Dalam linangan air mata, wajah ibu terlihat cantik. Parasnya masih terlihat sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Bahkan sekarang kulitnya terlihat lebih putih dan halus. Aku mengamati setelan baju dan perhiasan ibu. Benar rupanya bisik-bisik itu, ibu telah menjadi istri orang kaya. Di samping ibu, ada bapak, terlihat lebih renta dan berduka menatap wajahku.

Mengapa baru sekarang ibu datang? Di saat aku akan pergi. Cahaya terang itu telah menantiku. Apakah Amsterdam seindah cahaya itu sehingga ibu rela meninggalkanku? Apakah bule yang dipilih ibu seterang cahaya itu sehingga ibu lebih memilih dia daripada aku? Aku merasakan gelombang rasa penyesalan dan kerinduan ibu dari setiap isak dan air matanya. Ingin kupeluk ibu dan kukatakan bahwa aku telah memaafkannya sejak dulu. Kerinduanku telah mengalahkan kebencianku.

Seperti malam itu, ibu pergi tanpa mengucapkan pamit padaku, kali ini aku pun pergi tanpa bisa mengucapkan pamit pada ibu.

“Tiiiiiiiitttt…,” nada suara yang tinggi dan datar keluar dari monitor di samping tempat tidurku. Seketika itu pula layar menunjukkan garis lurus. Isak ibu berubah menjadi raungan menyayat hati. Bapak tersungkur di sisi tempat tidur dengan bahu berguncang hebat. Aku melihat mereka berdua mengguncang-guncang ragaku yang mendingin.

Ibu, aku pamit.

Cerpen ini masuk dalam 30 Nominator peraih Piagam Penghargaan "Lomba Menulis Fiksi Dumalana 2011/2012"