Saturday, February 25, 2012

Warisan Natal


Aku tak mau membuka mataku. Aku hanya ingin menikmati berbagai aroma khas yang menyapa hidungku. Aroma kayu jati tua dipan yang kutiduri. Aroma harum bunga yang melekat pada sprei, sarung bantal, dan selimut. Walaupun mungkin sabun cuci yang dipakai telah berganti-ganti tapi bagiku aromanya tetap sama sejak dulu. Ada juga aroma debu terselip di kisi-kisi jendela dan berbagai sudut ruangan yang tak terjangkau ganggang sapu. Semua aroma itu melebur menjadi satu membawaku secara mistis pada kenangan masa kecil hingga remaja yang kuhabiskan di kamar ini.
Bila aku membuka mataku aku tahu bahwa ruangan ini sebenarnya masih tetap sama seperti saat kutinggalkan selepas aku SMA dulu. Bahkan kain gordennya pun adalah kain pilihanku. Kain yang kubeli bersama ibu di Pasar Klewer. Tak ada perabot yang diganti bahkan digeser satu sentimeter pun dari tempatnya dulu. Hanya meja belajarku yang sekarang tampak kosong karena semua buku telah disimpan di gudang atau bahkan telah dijual Bapak di toko buku loakan belakang Taman Sriwedari. Juga tak lagi kudapati poster-poster artis dan boyband pujaanku semasa remajaku dulu. Kalau semua itu aku yang melepasnya sendiri saat kuliah. Betapa gelinya aku dulu memikirkan kegilaanku ada aris-artis tersebut.
Hidupku yang telah banyak berubah. Itulah yang membuatku malas membuka mata. Memanjakan anganku kembali pada masa kecil dan remaja saat kehidupan serasa tak disesakkan dengan berbagai kenyataan yang hampir tak mampu aku tanggung. Dan lagi bila kubuka mataku, aku tak mendapati lagi ibu di rumah ini. Padahal ibu yang kurasa paling kubutuhkan untuk berbagi kesesakan saat ini.
Suara pintu kamar yang dibuka dan kecupan kecil yang mendarat di kening memaksaku untuk membuka mata.
“Mama masih capek ya?” tanya sang Pangeran Kecil. Dengan nada suara yang terdengar bijak dan penuh perhatian ini pasti orang tak menyangka kalau umurnya baru empat tahun.
“Hmm, sedikit,” jawabku mencoba tersenyum. Belakangan ini aku sering berpura-pura tersenyum bahagia di depannya. Senyuman yang menyiksa hati nuraniku.
“Fide mau diajak Om Soni ke toko buat beli hiasan Natal. Boleh ya, Ma?”
 “Sudah minum susu?”
“Tinggal sedikit”
“Habiskan susunya dulu, baru boleh pergi sama Om Soni.”
“Oke, deh. Terima kasih, Mama. Muah!
Sebuah kecupan kembali mendarat di pipiku. Secepat kilat dia turun dari tempat tidur dan berlalu ke balik pintu. Aku berusaha kembali ke dunia angan yang sempat kutinggalkan. Tapi aku tak mampu lagi. Saat aku memejamkan mata bukan kenangan masa kecilku yang muncul tapi kembali keping-keping kisah pahit. Segera aku bangkit, keluar dari kamar dan membersihkan diri di kamar mandi. Berharap kesegaran tubuhku dapat sedikit menyegarkan pikiranku.
Kudapati bapak tengah membuka koran pagi saat aku menuju meja makan. Dua tahun yang lalu saat ibu masih hidup, suasana pagi di rumah tak sehening ini. Keheningan pagi ini masih terasa asing bagiku.
“Tadi Fide diajak Soni membeli hiasan natal.”
“Iya, tadi dia sudah pamit denganku.”
 “Yonan tidak pulang ke Solo Natal kali ini? Atau menyusul nanti?” Pertanyaan ini akhirnya meluncur juga dari mulut bapak. Aku tahu bapak telah menyimpan pertanyaan ini sejak menjemputku di bandara tadi malam. Tapi disimpannya karena mungin melihat wajahku yang begitu lelah dan murung semalam.
“Tidak.” Aku menjawab singkat dan berlalu menuju dapur untuk membuat secangkir teh buat diriku. Aku berharap bapak tak bertanya lagi tentang Yonan. Yonan pernah dua kali tidak bisa menemani kepulanganku ke Solo saat Natal karena bekerja. Jadi, kuharap ketidakhadirannya tahun ini tidak akan terlihat janggal.
Saat aku kembali ke meja makan dengan secangkir teh di tangan, aku tahu pembicaraan menyesakkan ini akan berlanjut. Aku melihat koran bapak sudah terlipat rapi, tangan bapak bersedekap di meja makan dengan pandangan mata menerawang menembus jendela ke pekarangan belakang rumah. Aku hafal, ini gaya bapak bila bersiap untuk membicarakan sesuatu yang penting. Aku sendiri tidak yakin akan siap untuk menceritakannya.
“Ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Yonan?” Bapak menatapku dengan tatapan yang lembut, tapi terasa menusuk. Memaksaku menundukkan kepala menghindari tatapan matanya yang seakan berusaha memindai isi hatiku.
“Bapak tahu, Bapak bukan ibumu. Bapak tidak akan pernah bisa menggantikan ibumu. Tapi Bapak ingin kamu tahu bahwa Bapak pun ada bila kamu ingin berbagi.” Setiap patah kata-kata bapak seperti godam yang menghantam benteng pertahananku. Kebisuanku runtuh diawali dengan isakan-isakan tangis dari mulut mulutku.
Kisah pahit itu akhirnya bergulir dari mulutku dengan terpatah-patah. Dimulai dari pengakuan Yonan sebulan lalu. Pengakuan yang tak pernah bisa kupercaya keluar dari mulut suami yang kucintai dan kupercayai selama ini.
Isakanku berubah menjadi raungan tangis yang memenuhi setiap sudut ruang makan itu saat bapak menggenggam tanganku. Aku bersyukur tak ada siapa pun di rumah ini yang dapat mendengar raunganku saat ini.
Entah berapa lama aku larut dalam tangis. Saat raunganku mereda menjadi isakan lirih, bapak membuka percakapan kami kembali.
“Ratih, aku sedikit banyak tahu perasaanmu. Kesakitanmu karena pengkhinatan ini, aku pun pernah merasakannya.”
“Maksud Bapak?”
“Dunia seperti mau runtuh saat aku mendengar pengakuannya dari mulut ibumu.”
“Maksud Bapak, Ibu….?”
“Ya, ibumu pernah mengakui sebuah perselingkuhan.”
Aku terdiam tak percaya. Selama ini aku melihat sosok ibu sebagai wanita yang sempurna. Ibu adalah wanita yang bersahaja, pendiam, tak suka bergosip dan terlihat begitu rukun dengan bapak. Selama ini aku mengingat ibu sebagai wanita pemalu, selalu menjaga jarak dengan pria lain selain bapak
“Kamu pasti sulit mempercayainya, kan? Tak apa….”
“Tapi, Ibu terlihat begitu sempurna di mataku.”
“Ibumu memang mengakhiri hidupnya sebagai wanita sempurna bagi kita semua, walau dia pernah mengalami kejatuhan  dalam perjalanan hidupnya.”
“Bapak, sebenarnya apa yang dulu pernah terjadi?”
“Waktu itu baru saja masuk SD, dan dua adikmu masih balita. Tidak semuanya salah ibu. Bapak juga bersalah dalam hal ini.”
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Kamu ingat kan, dulu Bapak sering dikirim dinas keluar Jawa berminggu-minggu. Meninggalkan ibumu dalam kesepian dengan kerepotan mengurus tiga anak-anaknya.”
“Iya, aku ingat. Bapak hanya pulang beberapa hari dalam sebulan.”
“Ibumu sebenarnya juga bukan perempuan rumahan tradisional. Dia seorang sarjana, predikat yang sangat jarang dimiliki wanita di masa itu. Ibumu punya ambisi yang besar untuk berkarya di luar rumah. Tapi dia mengambil pilihan untuk mengurus kalian bertiga di rumah.”
Aku kembali mengenang ibu. Dia wanita yang cerdas di mataku. Dia selalu tahu kapan dan apa yang harus dikatakannya. Itulah mengapa aku selalu nyaman membicarakan segala sesuatu dengannya.
“Apakah ibu kesepian sehingga….” Aku menggantung kalimatku. Tak kuasa membayangkan apa yang pernah terjadi di masa lampau.
“Bisa dikatakan begitu. Saat Bapak tak berada di sisinya, dia menemukan pria lain yang menemaninya berdiskusi. Dia merasakan gairahnya kembali. Ditambah lagi banyaknya desas-desus yang mengatakan bahwa pegawai yang bertugas di luar Jawa pasti punya banyak simpanan di sana. Berita seperti itu menambah kegalauannya. Di saat itulah dia jatuh ke pelukan pria tersebut.”
“Kenapa aku sama sekali tak tahu saat itu. Siapa pria itu, Pak? Apakah Ratih mengenalnya?”
“Tak perlu kamu tahu. Itu masa lalu….”
“Bapak pasti sangat hancur.”
“Benar. Selama ini banyak orang yang mengira pria seperti Bapaklah yang suka berselingkuh karena sering berdinas di luar Jawa. Ternyata…. Ah, berat sekali saat itu. Sangat ingin rasanya menceraikan ibumu sesegera mungkin saat itu.”
“Lalu, bagaimana Bapak bisa menerima ibu kembali saat itu?”
“Bapak tidak bisa langsung memaafkan dan menerima ibumu. Bapak sempat lari ke Yogya, pulang ke rumah eyangmu untuk menyendiri. Saat itu Natal juga. Ketika Bapak mengikuti kebaktian Natal, Bapak mendengar kotbah tentang kasih. Hati Bapak tersentuh. Bapak punya tekad untuk berusaha mengasihi ibumu dengan memaafkannya dan memberinya kesempatan kembali.”
“Semudah itukah?”
“Butuh proses yang lama. Kadang perasaan sakit itu muncul lagi tapi Bapak dan ibumu terus berdoa. Sampai detik ini Bapak tidak pernah menyesal karena telah memaafkan dan menerima ibumu kembali.”
“Tak pernah menyesal?”
“Iya. Bila dulu Bapak mengakhiri pernikahan kami yang baru tujuh tahun, Bapak tidak akan menikmati 28 tahun lagi kebahagiaan pernikahan kami. Setelah kejadian itu, ibumu bertobat dan menjadi istri yang lebih baik. Badai itu juga makin mengokohkan pernikahan kami. Tahukah kamu bila pohon yang kuat adalah pohon yang tahan menahan terpaan angin kencang? Bila aku mencari istri baru lagi, belum tentu aku mendapat yang lebih baik.”
Aku cuma terdiam. Meresapi semua kata-kata Bapak mengalir ke pikiranku dan berakhir di hatiku.
“Dan yang terpenting, kami dapat memberikan suatu warisan berharga bagi kalian melalui kelangsungan pernikahan kami.”
“Warisan apa, Pak?”
“Kami dapat mewariskan nilai tentang kelanggengan cinta kasih pernikahan, mewariskan pelajaran berharga bagaimana menghadapi badai dalam pernikahan.”
“Bapak memintaku untuk bisa memaafkan dan menerima Yonan kembali?”
“Bapak tidak bisa mendikte hidupmu. Kamu sendiri yang harus bisa membuat keputusan. Bapak hanya bisa mewariskan kisah pernikahanku dengan ibumu padamu.”
“Berat, Pak.”
Menutup wajah dengan telapak tanganku. Aku berusaha mengusir wajah Yonan dari hadapanku. Wajah Yonan yang berurai air mata saat berusaha memohon maafku.
“Aku tahu beratnya, Ratih. Di masa dulu, suami yang berselingkuh dianggap hal yang wajar dan harus dimaklumi seorang istri. Sedangkan seorang istri yang berselingkuh, seakan penghinaan besar bagi martabat pria. Tapi aku berusaha tidak melihat itu. Aku melihat ibumu sebagai istri, dengan siapa aku mengikat janji pernikahan. Hanya maut yang boleh memisahkan kami. Maut, dan bukan kemarahan semata.”
“Apakah Yonan dapat sungguh-sungguh berubah menjadi setia nantinya?”
“Ratih, Bapak bukan peramal yang tahu masa depan. Tapi kalau boleh Bapak mengingatkan, bukankah Tuhan juga sering memberi kesempatan kedua pada umat-Nya yang sungguh-sungguh bertobat dan memulai hidup baru yang lebih baik. Jadi, mengapa kamu tidak mencoba memberi kesempatan pada Yonan?”
Aku hanya membisu. Pikiranku berusaha merangkai setiap keping kisah masa lalu orang tuaku dan juga kisah pahitku sendiri. Bapak pun membisu di sampingku. Berdua kami menyelami keheningan rumah itu, mengarungi setiap kenangan masa lalu kami masing-masing.
Deru suara sepeda motor yang memasuki halaman rumah membuyarkan keheningan kami. Beberapa detik kemudian sosok lincah Fide memasuki rumah itu. Dengan riang Fide bercerita pengalamannya berbelanja hiasan-hiasan Natal dengan Om Soni.
Beberapa menit kemudian aku telah menemani Fide menghias pohon Natal di ruang tamu. Sementara bapak sibuk mengurusi burung-burung peliharaannya dengan Soni di belakang rumah.
Pohon Natal dengan tinggi sekitar satu meter itu diletakkan di atas sebuah meja mungil agar terlihat lebih tinggi. Fide pun terpaksa harus naik bangku kecil agar dapat memasang hiasan pada pohon itu.
“Ma, di bawah pohon Natal ini ditaruh apa?”
“Biasanya sih tidak ditaruh apa-apa.”
“Kalau ditaruh kado-kadoan bisa, Ma? Kemarin pohon Natal di sekolah Fide dihias begitu. Kadonya dari kardus kosong yang dibungkus kertas kado. Fide bisa buat kok, Ma. Kan di sekolah sudah diajarin Bu Guru.”
Aku terdiam sesaat. Sebuah ide melintas di pikiranku. Aku kemudian berlalu ke ruang keluarga. Kuambil beberapa foto keluarga tua yang berjajar di atas meja pajangan. Segera kubawa tiga foto ke ruang tamu dan kupasang di bawah pohon Natal itu.
“Kalau kita pasang ini bagaimana, Fide?”
“Lho, itu kan foto keluarga Eyang. Kok nggak pasang kado-kado saja, Ma?”
“Keluarga, kan, kado terindah dari Tuhan buat kita.”
Fide mengernyit sesaat. Pasti cukup sulit bagi anak lima tahun untuk memahami kata-kataku. Tapi kemudian dia mengangguk-angguk. Entah mengerti atau pura-pura mengerti.
“Oke deh, Ma. Pasang foto saja. Keren juga. Nanti kutunjukkin teman-temanku kalau sudah masuk sekolah nanti.”
“Sip!”
Kami berdua pun tos bersama. Sekilas kulirik senyum ibu pada salah satu foto keluarga. Foto ketika aku diwisuda. Sekelam apa pun masa lalunya, ibu tetaplah wanita yang hebat di mataku. Dia telah menunjukkan pengabdiannya pada bapak dan keluarga ini walaupun pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu. Dia telah membayar kesalahannya dengan melukiskan kebahagiaan di hati kami semua anak-anaknya.
Perlahan aku merogoh ponsel di kantong celanaku. Kuketik sebuah sms singkat.
“Kapan kamu menyusul ke Solo untuk merayakan Natal?”
Semenit kemudian sebuah balasan kuterima.
“Beneran? Aku boleh ke sana?”
Lama aku tidak membalas sms itu. Mataku menatap lekat foto bapak dan ibu di bawah pohon Natal itu. Aku pun ingin mewariskan sebuah kisah pernikahan yang bahagia pada Fide. Aku juga ingin dapat menceritakan kasih sejati dalam pernikahanku pada Fide nantinya. Kasih yang mau mengampuni dan menerima di dalam kelemahan.
“Mari kita mencoba lagi….” Kubalas pesannya dengan singkat. Tiba-tiba Fide sudah aad di dekatku, ikut memelototi ponselku.
 “Papa ya?”
“Iya. Papa akan segera menyusul ke sini.”
“Papa nggak jadi sibuk kerja ya?”
“Iya. kamu tunggu saja ya.”
“Hore!!! Bisa Natalan sama Papa!”
Teriak girang Fide membahana ke seisi rumah. Meluruhkan segala kemuraman yang sempat singgah di rumah ini.

Dimuat Majalah "SEKAR" edisi 72, 14-28 Desember 2011